HERPES
ZOSTER
Herpes zoster telah dikenal sejak zaman Yunani kuno. Herpes zoster disebabkan
oleh virus yang sama dengan varisela, yaitu virus varisela zoster.1,2 Herpes
zoster ditandai dengan adanya nyeri hebat unilateral serta timbulnya lesi vesikuler
yang terbatas pada dermatom yang dipersarafi serabut saraf spinal maupun
ganglion serabut saraf sensorik dan nervus kranialis.3,4
Insiden herpes zoster tersebar merata di seluruh dunia, tidak ada perbedaan
angka kesakitan antara pria dan wanita. Angka kesakitan meningkat dengan
peningkatan usia. Diperkirakan terdapat antara 1,3-5 per 1000 orang per tahun.
Lebih dari 2/3 kasus berusia di atas 50 tahun dan kurang dari 10% kasus berusia
di bawah 20 tahun.
Patogenesis herpes zoster belum seluruhnya diketahui. Selama terjadi varisela,
virus varisela zoster berpindah tempat dari lesi kulit dan permukaan mukosa ke
ujung saraf sensorik dan ditransportasikan secara sentripetal melalui serabut
saraf sensoris ke ganglion sensoris. Pada ganglion terjadi infeksi laten, virus
tersebut tidak lagi menular dan tidak bermultiplikasi, tetapi tetap mempunyai
kemampuan untuk berubah menjadi infeksius. Herpes zoster pada umumnya terjadi
pada dermatom sesuai dengan lokasi ruam varisela yang terpadat. Aktivasi virus
varisela zoster laten diduga karena keadaan tertentu yang berhubungan dengan
imunosupresi, dan imunitas selular merupakan faktor penting untuk pertahanan
pejamu terhadap infeksi endogen.
Komplikasi herpes zoster dapat terjadi pada 10-15% kasus, komplikasi yang terbanyak
adalah neuralgia paska herpetik yaitu berupa rasa nyeri yang persisten setelah
krusta terlepas. Komplikasi jarang terjadi pada usia di bawah 40 tahun, tetapi
hampir 1/3 kasus terjadi pada usia di atas 60 tahun. Penyebaran dari ganglion
yang terkena secara langsung atau lewat aliran darah sehingga terjadi herpes
zoster generalisata. Hal ini dapat terjadi oleh karena defek imunologi karena
keganasan atau pengobatan imunosupresi.
Secara umum pengobatan herpes zoster mempunyai 3 tujuan utama yaitu: mengatasi
inveksi virus akut, mengatasi nyeri akut ynag ditimbulkan oleh virus herpes
zoster dan mencegah timbulnya neuralgia paska herpetik.
A.
Definisi
Herpes zoster adalah radang kulit akut yang
bersifat khas seperti gerombolan vesikel unilateral, sesuai dengan dermatomanya
(persyarafannya).
Herpes zoster adalah sutau infeksi yang
dialami oleh seseorang yang tidak mempunyai kekebalan terhadap varicella
(misalnya seseorang yang sebelumnya tidak terinfeksi oleh varicella dalam
bentuk cacar air).
B.
Epidemiolgi
Herpes zoster dapat muncul disepanjang tahun karena tidak dipengaruhi oleh
musim dan tersebar merata di seluruh dunia, tidak ada perbedaan angka kesakitan
antara laki-laki dan perempuan, angka kesakitan meningkat dengan peningkatan
usia. Di negara maju seperti Amerika, penyakit ini dilaporkan sekitar 6%
setahun, di Inggris 0,34% setahun sedangkan di Indonesia lebih kurang 1%
setahun.
Herpes zoster terjadi pada orang yang pernah menderita varisela sebelumnya
karena varisela dan herpes zoster disebabkan oleh virus yang sama yaitu virus
varisela zoster. Setelah sembuh dari varisela, virus yang ada di ganglion
sensoris tetap hidup dalam keadaan tidak aktif dan aktif kembali jika daya
tahan tubuh menurun. Lebih dari 2/3 usia di atas 50 tahun dan kurang dari 10%
usia di bawah 20 tahun. Kurnia Djaya pernah melaporkan kasus hepes zoster pada
bayi usia 11 bulan.
C.
Etiologi
Herpes zoster disebabkan oleh infeksi virus varisela zoster (VVZ) dan tergolong
virus berinti DNA, virus ini berukuran 140-200 nm, yang termasuk subfamili alfa
herpes viridae. Berdasarkan sifat biologisnya seperti siklus replikasi,
penjamu, sifat sitotoksik dan sel tempat hidup laten diklasifikasikan kedalam 3
subfamili yaitu alfa, beta dan gamma. VVZ dalam subfamili alfa mempunyai sifat
khas menyebabkan infeksi primer pada sel epitel yang menimbulkan lesi vaskuler.
Selanjutnya setelah infeksi primer, infeksi oleh virus herpes alfa biasanya
menetap dalam bentuk laten didalam neuron dari ganglion. Virus yang laten ini
pada saatnya akan menimbulkan kekambuhan secara periodik. Secara in vitro virus
herpes alfa mempunyai jajaran penjamu yang relatif luas dengan siklus
pertumbuhan yang pendek serta mempunyai enzim yang penting untuk replikasi
meliputi virus spesifik DNA polimerase dan virus spesifik deoxypiridine
(thymidine) kinase yang disintesis di dalam sel yang terinfeksi.
D.
Patogenesis
Infeksi primer dari VVZ ini pertama kali terjadi di daerah nasofaring. Disini
virus mengadakan replikasi dan dilepas ke darah sehingga terjadi viremia permulaan
yang sifatnya terbatas dan asimptomatik. Keadaan ini diikuti masuknya virus ke
dalam Reticulo Endothelial System (RES) yang kemudian mengadakan replikasi
kedua yang sifat viremia nya lebih luas dan simptomatik dengan penyebaran virus
ke kulit dan mukosa. Sebagian virus juga menjalar melalui serat-serat sensoris
ke satu atau lebih ganglion sensoris dan berdiam diri atau laten didalam
neuron. Selama antibodi yang beredar didalam darah masih tinggi, reaktivasi
dari virus yang laten ini dapat dinetralisir, tetapi pada saat tertentu dimana
antibodi tersebut turun dibawah titik kritis maka terjadilah reaktivasi dari
virus sehingga terjadi herpes zoster.
E.
Gambaran Klinis
Gejala prodromal herpes zoster biasanya berupa rasa sakit dan parestesi pada
dermatom yang terkena. Gejala ini terjadi beberapa hari menjelang timbulnya
erupsi. Gejala konstitusi, seperti sakit kepala, malaise, dan demam, terjadi
pada 5% penderita (terutama pada anak-anak) dan timbul 1-2 hari sebelum terjadi
erupsi.
Gambaran yang paling khas pada herpes zoster adalah erupsi yang lokalisata dan
unilateral. Jarang erupsi tersebut melewati garis tengah tubuh. Umumnya lesi
terbatas pada daerah kulit yang dipersarafi oleh salah satu ganglion saraf
sensorik.
Erupsi mulai dengan eritema makulopapular. Dua belas hingga dua puluh empat jam
kemudian terbentuk vesikula yang dapat berubah menjadi pustula pada hari
ketiga. Seminggu sampai sepuluh hari kemudian, lesi mengering menjadi krusta.
Krusta ini dapat menetap menjadi 2-3 minggu.Keluhan yang berat biasanya terjadi
pada penderita usia tua. Pada anak-anak hanya timbul keluhan ringan dan erupsi
cepat menyembuh. Rasa sakit segmental pada penderita lanjut usia dapat menetap,
walaupun krustanya sudah menghilang.
Frekuensi herpes zoster menurut dermatom yang terbanyak pada dermatom torakal
(55%), kranial (20%), lumbal (15%), dan sakral (5%).
Menurut lokasi
lesinya, herpes zoster dibagi menjadi:
1. Herpes zoster oftalmikus
Herpes zoster oftalmikus merupakan infeksi virus herpes zoster yang mengenai bagian
ganglion gasseri yang menerima serabut saraf dari cabang ophtalmicus saraf
trigeminus (N.V), ditandai erupsi herpetik unilateral pada kulit.
Infeksi diawali dengan nyeri kulit pada satu sisi kepala dan wajah disertai
gejala konstitusi seperti lesu, demam ringan. Gejala prodromal berlangsug 1
sampai 4 hari sebelum kelainan kulit timbul. Fotofobia, banyak kelar air mata,
kelopak mata bengkak dan sukar dibuka.
2. Herpes zoster fasialis
Herpes zoster fasialis merupakan infeksi virus herpes zoster yang mengenai
bagian ganglion gasseri yang menerima serabut saraf fasialis (N.VII), ditandai
erupsi herpetik unilateral pada kulit.
3.
Herpes zoster brakialis
Herpes zoster brakialis merupakan infeksi
virus herpes zoster yang mengenai pleksus brakialis yang ditandai erupsi
herpetik unilateral pada kulit.
4. Herpes zoster torakalis
Herpes zoster torakalis merupakan infeksi
virus herpes zoster yang mengenai pleksus torakalis yang ditandai erupsi
herpetik unilateral pada kulit.
5.
Herpes zoster lumbalis
Herpes zoster lumbalis merupakan infeksi
virus herpes zoster yang mengenai pleksus lumbalis yang ditandai erupsi
herpetik unilateral pada kulit.
6.
Herpes zoster sakralis
Herpes zoster sakralis merupakan infeksi
virus herpes zoster yang mengenai pleksus sakralis yang ditandai erupsi
herpetik unilateral pada kulit.
F.
Diagnosis
Diagnosis herpes zoster
pada anamnesis didapatkan keluhan berupa neuralgia beberapa hari sebelum atau
bersama-sama dengan timbulnya kelainan kulit.3 Adakalanya sebelum timbul
kelainan kulit didahului gejala prodromal seperti demam, pusing dan malaise.9
Kelainan kulit tersebut mula-mula berupa eritema kemudian berkembang menjadi
papula dan vesikula yang dengan cepat membesar dan menyatu sehingga terbentuk
bula. Isi vesikel mula-mula jernih, setelah beberapa hari menjadi keruh dan
dapat pula bercampur darah. Jika absorbsi terjadi, vesikel dan bula dapat
menjadi krusta.
Dalam stadium pra erupsi,
penyakit ini sering dirancukan dengan penyebab rasa nyeri lainnya, misalnya
pleuritis, infark miokard, kolesistitis, apendisitis, kolik renal, dan
sebagainya.4 Namun bila erupsi sudah terlihat, diagnosis mudah ditegakkan.
Karakteristik dari erupsi kulit pada herpes zoster terdiri atas vesikel-vesikel
berkelompok, dengan dasar eritematosa, unilateral, dan mengenai satu dermatom.
Secara laboratorium,
pemeriksaan sediaan apus tes Tzanck membantu menegakkan diagnosis dengan
menemukan sel datia berinti banyak. Demikian pula pemeriksaan cairan vesikula
atau material biopsi dengan mikroskop elektron, serta tes serologik.4,9 Pada pemeriksaan
histopatologi ditemukan sebukan sel limfosit yang mencolok, nekrosis sel dan
serabut saraf, proliferasi endotel pembuluh darah kecil, hemoragi fokal dan
inflamasi bungkus ganglion. Partikel virus dapat dilihat dengan mikroskop
elektron dan antigen virus herpes zoster dapat dilihat secara imunofluoresensi.
Apabila gejala klinis sangat jelas tidaklah sulit untuk
menegakkan diagnosis. Akan tetapi pada keadaan yang meragukan diperlukan
pemeriksaan penunjang antara lain:
1. Isolasi virus dengan kultur jaringan dan identifikasi
morfologi dengan mikroskop elektron.
2. Pemeriksaan antigen dengan imunofluoresen
3. Test serologi
dengan mengukur imunoglobulin spesifik.
-
G. Komplikasi
1. Neuralgia paska herpetik
Neuralgia paska herpetik adalah rasa nyeri yang timbul pada daerah bekas
penyembuhan. Neuralgia ini dapat berlangsung selama berbulan-bulan sampai
beberapa tahun. Keadaan ini cenderung timbul pada umur diatas 40 tahun,
persentasenya 10 - 15 % dengan gradasi nyeri yang bervariasi. Semakin tua umur
penderita maka semakin tinggi persentasenya.
2. Infeksi sekunder
Pada penderita tanpa disertai defisiensi imunitas biasanya tanpa komplikasi.
Sebaliknya pada yang disertai defisiensi imunitas, infeksi H.I.V., keganasan,
atau berusia lanjut dapat disertai komplikasi. Vesikel sering manjadi ulkus
dengan jaringan nekrotik.
3. Kelainan pada mata
Pada herpes zoster oftatmikus, kelainan yang muncul dapat berupa: ptosis
paralitik, keratitis, skleritis, uveitis, korioratinitis dan neuritis optik.
4. Sindrom Ramsay Hunt
Sindrom Ramsay Hunt terjadi karena gangguan pada nervus fasialis dan otikus,
sehingga memberikan gejala paralisis otot muka (paralisis Bell), kelainan kulit
yang sesuai dengan tingkat persarafan, tinitus, vertigo, gangguan pendengaran,
nistagmus, nausea, dan gangguan pengecapan.
5. Paralisis motorik
Paralisis motorik dapat terjadi pada 1-5%
kasus, yang terjadi akibat perjalanan virus secara kontinuitatum dari ganglion
sensorik ke sistem saraf yang berdekatan. Paralisis ini biasanya muncul dalam 2
minggu sejak munculnya lesi. Berbagai paralisis dapat terjadi seperti: di
wajah, diafragma, batang tubuh, ekstremitas, vesika urinaria dan anus. Umumnya
akan sembuh spontan.
-
H. Penatalaksanaan
Penatalaksaan herpes zoster bertujuan untuk:
1. Mengatasi infeksi virus akut
2. Mengatasi nyeri akut yang ditimbulkan oleh virus herpes
zoster
3. Mencegah timbulnya neuralgia pasca herpetik.
I. ASUHAN
KEPERAWATAN
Pengkajian
:
1. Aktifitas
/ istirahat : perubahan aktifitas
2. Nyeri : ketidaknyamanan, nyeri, Gatal.
3. Keamanan
: takut, ansietas
1. Risiko kerusakan integritas kulit berhubungan dengan perubahan
fungsi barier kulit.
2. Nyeri dan rasa gatal berhubungan dengan lesi kulit.
3. Gangguan pola tidur berhubungan dengan pruritus.
4. Gangguan citra tubuh berhubungan dengan penampakan kulit
yang tidak bagus.
5. Kurang pengetahuan tentang program terapi berhubungan
dengan inadekuat informasi.
Tujuan
Intervensi/Implementasi
Tujuan askep Herpes Zoster adalah terpeliharanya integritas kulit, meredakan
gangguan rasa nyaman: nyeri, tercapainya tidur yang nyenyak, berkembangnya
sikap penerimaan terhadap diri, diperolehnya pengetahuan tentang perawatan
kulit dan tidak adanya komplikasi.
1. Resiko kerusakan
integritas kulit berhubungan dengan perubahan fungsi barier kulit.
1.1. Lindungi kulit
yang sehat dari kemungkinan maserasi (hidrasi stratum korneum yg berlebihan)
ketika memasang balutan basah.
Rasional: Maserasi pada kulit yang sehat dapat menyebabkan pecahnya
kulit dan perluasan kelainan primer.
1.2. Hilangkan
kelembaban dari kulit dengan penutupan dan menghindari friksi.
Rasional: Friksi dan maserasi memainkan peranan yang penting dalam
proses terjadinya sebagian penyakit kulit.
1.3. Jaga agar terhindar dari cidera termal akibat
penggunaan kompres hangat dengan suhu terlalu tinggi & akibat cedera panas
yg tidak terasa (bantalan pemanas, radiator).
Rasional: Penderita dermatosis dapat mengalami penurunan sensitivitas
terhadap panas.
1.4. Nasihati klien untuk menggunakan kosmetik dan preparat
tabir surya.
Rasional: Banyak masalah kosmetik pada hakekatnya semua kelainan
malignitas kulit dapat dikaitkan dengan kerusakan kulit kronik.
Kriteria keberhasilan implementasi.
1. Mempertahakan integritas kulit.
2. Tidak ada maserasi.
3. Tidak ada tanda-tanda cidera termal.
4. Tidak ada infeksi.
5. Memberikan obat topikal yang diprogramkan.
6. Menggunakan obat yang diresepkan sesuai jadwal.
2. Nyeri dan rasa gatal berhubungan dengan lesi kulit.
2.1. Temukan penyebab
nyeri/gatal
Rasional: Membantu mengidentifikasi tindakan yang tepat untuk
memberikan kenyamanan.
2.2. Catat hasil observasi
secara rinci.
Rasional: Deskripsi yang akurat tentang erupsi kulit diperlukan
untuk diagnosis dan pengobatan.
2.3. Antisipasi reaksi alergi
(dapatkan riwayat obat).
Rasional: Ruam menyeluruh terutama dengan awaitan yang mendadak
dapatmenunjukkan reaksi alergi obat.
2.4. Pertahankan kelembaban
(+/- 60%), gunakan alat pelembab.
Rasional: Kelembaban yang rendah, kulit akan kehilangan air.
2.5. Pertahankan lingkungan
dingin.
Rasional: Kesejukan
mengurangi gatal.
2.6. Gunakan sabun ringan
(dove)/sabun yang dibuat untuk kulit yang sensitive
Rasional: Upaya ini
mencakup tidak adanya detergen, zat pewarna.
2.7. Lepaskan kelebihan pakaian/peralatan di
tempat tidur
Rasional: Meningkatkan
lingkungan yang sejuk.
2.8. Cuci linen tempat tidur
dan pakaian dengan sabun.
Rasional: Sabun yang
"keras" dapat menimbulkan iritasi.
2.9. Hentikan pemajanan
berulang terhadap detergen, pembersih dan pelarut.
Rasional: Setiap subtansi
yang menghilangkan air, lipid, protein dari epidermis akan mengubah fungsi
barier kulit
2.10. Kompres
hangat/dingin.
Rasional: Pengisatan air
yang bertahap dari kasa akan menyejukkan kulit dan meredakan pruritus.
2.11. Mengatasi kekeringan
(serosis).
Rasional: Kulit yang kering
meimbulkan dermatitis: redish, gatal.lepuh, eksudat.
2.12. Mengoleskan lotion
dan krim kulit segera setelah mandi.
Rasional: Hidrasi yang
cukup pada stratum korneum mencegah gangguan lapisan barier kulit.
2.13. Menjaga agar kuku
selalu terpangkas (pendek).
Rasional: Mengurangi
kerusakan kulit akibat garukan
2.14. Menggunakan terapi
topikal.
Rasional: Membantu
meredakan gejala.
2.15. Membantu klien
menerima terapi yang lama.
Rasional: Koping biasanya meningkatkan
kenyamanan.
2.16. Nasihati klien
untuk menghindari pemakaian salep /lotion yang dibeli tanpa resep Dokter.
Rasional: Masalah klien
dapat disebabkan oleh iritasi/sensitif karena pengobatan sendiri
Kriteria keberhasilan implementasi.
1. Mencapai peredaan gangguan rasa nyaman: nyeri/gatal.
2. Mengutarakan dengan kata-kata bahwa gatal telah reda.
3. Memperllihatkan tidak adanya gejala ekskoriasi kulit karena garukan.
4. Mematuhi terapi yang diprogramkan.
5. Pertahankan keadekuatan hidrasi dan lubrikasi kulit.
6. Menunjukkan kulit utuh dan penampilan kulit yang sehat .
3. Gangguan pola tidur berhubungan dengan pruritus.
3.1. Nasihati klien
untuk menjaga kamar tidur agar tetap memiliki ventilasi dan kelembaban yang
baik.
Rasional: Udara yang kering
membuat kulit terasa gatal, lingkungan yang nyaman meningkatkan relaksasi.
3.2.
Menjaga agar kulit selalu lembab.
Rasional: Tindakan ini mencegah kehilangan
air, kulit yang kering dan gatal biasanya tidak dapat disembuhkan tetapi bisa
dikendalikan.
3.3.
Mandi hanya diperlukan, gunakan sabun lembut,
oleskan krim setelah mandi.
Rasional: memelihara kelembaban kulit
3.4. Menjaga jadual tidur yg teratur.
3.5. Menghindari minuman yang mengandung
kafein menjelang tidur.
Rasional: kafein memiliki efek puncak 2-4
jam setelah dikonsumsi.
3.6.
Melaksanakan gerak
badan secara teratur.
Rasional: memberikan efek menguntungkan bila
dilaksanakan di sore hari.
3.7.
Mengerjakan hal
ritual menjelang tidur.
Rasional: Memudahkan peralihan dari keadaan
terjaga ke keadaan tertidur.
Kriteria Keberhasilan Implementasi
1. Mencapai tidur yang nyenyak.
2. Melaporkan gatal mereda.
3. Mempertahankan kondisi lingkungan yang tepat.
4. Menghindari konsumsi kafein.
5. Mengenali tindakan untuk meningkatkan tidur.
6. Mengenali pola istirahat/tidur yang memuaskan.
4. Gangguan citra tubuh berhubungan dengan penampakan kulit yang tidak
bagus.
4.1. Kaji adanya
gangguan citra diri (menghindari kontak mata,ucapan merendahkan diri sendiri.
Rasional: Gangguan citra diri akan menyertai
setiap penyakit/keadaan yang tampak nyata bagi klien, kesan orang terhadap
dirinya berpengaruh terhadap konsep diri.
4.2.
Identifikasi stadium
psikososial terhadap perkembangan.
Rasional: Terdapat hubungan antara stadium
perkembangan, citra diri dan reaksi serta pemahaman klien terhadap kondisi
kulitnya.
4.3. Berikan kesempatan pengungkapan
perasaan.
Rasional: klien membutuhkan pengalaman
didengarkan dan dipahami.
4.4. Nilai rasa
keprihatinan dan ketakutan klien, bantu klien yang cemas mengembangkan
kemampuan untuk menilai diri dan mengenali masalahnya.
Rasional: Memberikan kesempatan pada petugas
untuk menetralkan kecemasan yang tidak perlu terjadi dan memulihkan realitas
situasi, ketakutan merusakadaptasi klien .
4.5. Dukung upaya klien untuk memperbaiki
citra diri , spt merias, merapikan.
Rasional: membantu meningkatkan penerimaan
diri dan sosialisasi.
4.6. Mendorong sosialisasi dengan orang
lain.
Rasional: membantu
meningkatkan penerimaan diri dan sosialisasi.
Kriteria
Keberhasilan Implementasi
1. Mengembangkan
peningkatan kemauan untuk menerima keadaan diri.
2. Mengikuti dan turut
berpartisipasi dalam tindakan perawatan diri.
3. Melaporkan perasaan
dalam pengendalian situasi.
4. Menguatkan kembali dukungan
positif dari diri sendiri.
5. Mengutarakan perhatian
terhadap diri sendiri yang lebih sehat.
6. Tampak tidak
meprihatinkan kondisi.
7. Menggunakan
teknik penyembunyian kekurangan dan menekankan teknik untuk meningkatkan
penampilan
5.
Kurang pengetahuan tentang program terapi
5.1.
Kaji
apakah klien memahami dan salah mengerti tentang penyakitnya.
Rasional:
memberikan data dasar untuk mengembangkan rencana penyuluhan
5.2.
Jaga
agar klien mendapatkan informasi yang benar, memperbaiki kesalahan
konsepsi/informasi.
Rasional: Klien harus
memiliki perasaan bahwa sesuatu dapat mereka perbuat, kebanyakan klien
merasakan manfaat.
5.3. Peragakan penerapan terapi seperti, kompres
basah, obat topikal.
Rasional: memungkinkan
klien memperoleh cara yang tepat untuk melakukan terapi.
5.4. Nasihati klien agar kulit teap lembab dan fleksibel
dengan tindakan hidrasi dan pengolesan krim serta losion kulit.
Rasional: stratum korneum memerlukan air agar tetap fleksibel. Pengolesan
krim/lotion akan melembabkan kulit dan mencegah kulit tidak kering, kasar,
retak dan bersisik.
5.5. Dorong klien untuk mendapatkan nutrisi yang sehat.
Rasional: penampakan kulit mencerminkan kesehatan umum seseorang, perubahan
pada kulit menandakan status nutrisi yang abnormal.
Kriteria Keberhasilan Implementasi
1. Memiliki pemahaman terhadap perawatan kulit.
2. Mengikuti terapi dan dapat menjelaskan alasan terapi.
3 Melaksanakan mandi, pembersihan dan balutan basah sesuai program.
4. Menggunakan obat topikal dengan tepat.
5. Memahami pentingnya nutrisi untuk kesehatan kulit.
6. Mencegah Infeksi
6.1.
Miliki indeks kecurigaan yang tinggi terhadap suatu infeksi pada klien yang sistem
kekebalannya terganggu.
Rasional: setiap keadaan yg mengganggu imun akan memperbesar risiko infeksi
kulit.
6.2.
Berikan petunjuk yang jelas dan rinci kepada klien mengenai program terapi.
Rasional: Pendidikan klien yang efektif bergantung pada keterampilan
interpesonal profesional kesehatan dan pada pemberian instruksi yang jelas.
6.3.
Laksanakan kompres basah sesuai program untuk mengurangi intensitas inflamasi.
Rasional: vasokonstriksi pembuluh darah kulit dapat mengurangi eritema dan
membantu debridemen vesikel dan krusta serta mengendalikan inflamasi.
6.4.
Sediakan terapi rendaman sesuai program.
Rasional: melepas eksudat dan krusta.
6.5.
Berikan antibiotik sesuai order.
Rasional: membunuh dan mencegah pertumbuhan mikroorganisme.
6.6.
Gunakan obat topikal yang mengandung kortikosteroid sesuai order.
Rasional: memiliki kerja antiinflamasi, sehingga mampu menimbulkan
vasokonstriksi pd pembuluh darah kecil dalam dermis lapisan atas.
6.7.
Nasihati klien untuk menghentikan pemakaian setiap obat kulit yang memperburuk
masalah.
Rasional: dermatitis kontan atau reaksi alergi dapat terjadi akibat setiap
unsur yang ada dalam obat tersebut.
Kriteria
Keberhasilan Implementasi
1. Tetap bebas dari infeksi.
2.
Mengungkapkan tindakan perawatan kulit yang meningkatkan kebersihan dan
mencegah kerusakan kulit.
3.
Mengidentifkasi tanda dan gejala infeksi.
4.
Mengidentifikasi efek kerugian obat
5.
Berpartisipasi dalam tindakan perawatan kulti: ganti balutan, mandi.
J. PENGOBATAN
1. Pengobatan Umum
Selama fase akut, pasien dianjurkan tidak
keluar rumah, karena dapat menularkan kepada orang lain yang belum pernah
terinfeksi varisela dan orang dengan defisiensi imun.
Usahakan agar vesikel tidak pecah, misalnya jangan digaruk dan pakai baju yang
longgar. Untuk mencegah infeksi sekunder jaga kebersihan badan.
2. Pengobatan Khusus
A. Sistemik
A.1.
Obat Antivirus
Obat yang biasa digunakan ialah asiklovir
dan modifikasinya, misalnya valasiklovir dan famsiklovir. Asiklovir bekerja
sebagai inhibitor DNA polimerase pada virus. Asiklovir dapat diberikan peroral
ataupun intravena. Asiklovir Sebaiknya pada 3 hari pertama sejak lesi muncul.
Dosis asiklovir peroral yang dianjurkan adalah 5×800 mg/hari selama 7 hari,
sedangkan melalui intravena biasanya hanya digunakan pada pasien yang
imunokompromise atau penderita yang tidak bisa minum obat. Obat lain yang dapat
digunakan sebagai terapi herpes zoster adalah valasiklovir. Valasiklovir
diberikan 3×1000 mg/hari selama 7 hari, karena konsentrasi dalam plasma tinggi.
Selain itu famsiklovir juga dapat dipakai. Famsiklovir juga bekerja sebagai
inhibitor DNA polimerase. Famsiklovir diberikan 3×200 mg/hari selama 7 hari.
A.2. Analgetik
Analgetik diberikan untuk mengurangi
neuralgia yang ditimbulkan oleh virus herpes zoster. Obat yang biasa digunakan
adalah asam mefenamat. Dosis asam mefenamat adalah 1500 mg/hari diberikan
sebanyak 3 kali, atau dapat juga dipakai seperlunya ketika nyeri muncul.
A.3. Kortikosteroid
Indikasi pemberian kortikostreroid ialah
untuk Sindrom Ramsay Hunt. Pemberian harus sedini mungkin untuk mencegah
terjadinya paralisis. Yang biasa diberikan ialah prednison dengan dosis 3×20
mg/hari, setelah seminggu dosis diturunkan secara bertahap. Dengan dosis
prednison setinggi itu imunitas akan tertekan sehingga lebih baik digabung
dengan obat antivirus.
B. Pengobatan topikal
Pengobatan topikal bergantung pada
stadiumnya. Jika masih stadium vesikel diberikan bedak dengan tujuan protektif
untuk mencegah pecahnya vesikel agar tidak terjadi infeksi sekunder. Bila
erosif diberikan kompres terbuka. Kalau terjadi ulserasi dapat diberikan salap
antibiotik.
DAFTAR
PUSTAKA
-
1. Hartadi,
Sumaryo S. Infeksi Virus. Ilmu Penyakit Kulit. Jakarta: Hipokrates, 2000; 92-4.
2. Handoko
RP. Penyakit Virus. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi Ke-4. Jakarta: Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia,
2005; 110-2.
3. Martodihardjo
S. Penanganan Herpes Zoster dan Herpes Progenitalis. Ilmu Penyakit kulit dan
Kelamin. Surabaya:
Airlangga University Press, 2001.
4. Mansjoer
A, Suprohaita, Wardhani WI, Setiowulan W. Penyakit Virus. Kapita
Selekta Kedokteran. Edisi Ke-3. Jilid 2. Jakarta:
Media Aesculapius. 2000, 128-9.
5. Lynda
Juall carpernito, Rencana Asuhan keperawatan dan dokumentasi keperawatan,
Diagnosis Keperawatan dan Masalah Kolaboratif, ed. 2, EGC, Jakarta, 1999.
6. Marilynn
E. Doenges, Rencana Asuhan Keperawatan pedoman untuk perencanaan dan
pendokumentasian pasien, ed.3, EGC, Jakarta,
1999.